Pada tanggal 21 Agustus 2017, aku dan ayahku melakukan kerja
bakti membersihkan rumah dan menanam pohon di halaman rumahku. Masih jelas
dalam ingatanku, kala ayah berusaha untuk mengeluarkan pohon kelengkeng dari
potnya untuk dipindahkan ke tanah, ayah mengeluh kepadaku.
“Aduh,
dik. Bentar kita istirahat dulu.” pinta ayah kepadaku. Aku yang melihat itu
langsung menghampiri ayah dan bertanya, “Kenapa Yah?”. Ayah tidak langsung
menjawab pertanyaanku melainkan langsung memegang dada bagian kirinya. Aku yang
paham akan hal itu, langsung bertanya kepada ayah, tetapi ayah langsung
menjawab, “Jantung ayah nggak kuat, dik.” Jujur saja pada saaat ayah berkata
seperti itu, aku tidak memiliki pemikiran yang aneh-aneh mengenai keadaan ayah.
Keesokan
harinya, ayahku berangkat ke Semarang karena suatu hal yang berkaitan dengan
rumah kami yang berada di sana. Tapi sayangnya aku tidak dapat mengantarkan
ayah ke bandara dikarenakan aku harus sekolah. Setelah beberapa jam, ayah
mengabari keluarga kami bahwa dirinya telah sampai di Semarang dengan selamat.
Ayah berada di Semarang lebih kurang 2 hari. Pada saat ayah berada di sana, aku
mendapat kabar bahwa ayah masuk rumah sakit dikarenakan sesak nafas. Aku merasa
kasihan kepada ayah.
Akhirnya,
setelah urusan ayah selesai, ayah kembali ke Palembang. Pada saat ayah sampai
di rumah, ayah tidak mengeluh apa-apa kepada kami. Tapi pada pukul 10 malam,
mama buru-buru menghampiriku dan berkata bahwa ayah kembali sesak nafas.
Setelah memberi beberapa wejangan kepadaku, mama dengan segera membawa ayah ke
rumah sakit terdekat.
Ayah
dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 4 hari. Tetapi pada Senin sore, mama
mengatakan kepadaku bahwa ayah telah
dipindahkan ke rumah sakit umum. Aku yang mendapat kabar tersebut langsung
ingin menjenguk ayahku dan mempunyai pemikiran yang buruk mengenai ayahku. Tapi
mamaku menyuruhku untuk pulang ke rumah dan menunggu kakak pulang. Dan mama juga memberi tahu bahwa mama tidak
akan pulang ke rumah pada hari itu.
Keesokan
harinya, mama menyuruhku untuk datang ke rumah sakit umum terlebih dahulu
sebelum pulang ke rumah. Aku pun mengiyakan perintah mama. Selama perjalanan
menuju rumah sakit umum, aku mulai merasakan dan memikirkan hal yang buruk
mengenai ayahku. Sesampainya di sana, aku melihat budhe dari pihak ayahku,
teman-teman ayahku dan beberapa orang yang tidak aku kenal.
Mama
membawaku masuk ke dalam IGD untuk melihat kondisi ayah. Jujur saja aku tidak
ingin melihat bagaimana kondisi ayahku. Pada saat di IGD, aku melihat banyak
pasien dengan kondisi yang sudah sangat parah. Ada yang menjadi korban
kecelakaan, yang mengidap penyakit jantung dan banyak lagi. Setelah sampai di
ruangan ayahku, aku melihat ayahku terbaring lemah dengan sekujur tubuhnya
dipenuhi alat-alat kesehatan. Aku yang melihat keadaan ayah tidak bisa menahan
tangisku. Aku langsung saja keluar dari IGD tersebut dan memeluk budheku.
“Gimana
dik? Udah liat ayah?” tanya budhe. Aku pun mengangguk dan berkata, “Adik nggak
nyangka kalo ayah bakal kayak gini budhe,” mama yang melihatku pun segera
memelukku dan berbisik kepadaku, “Adik nggak boleh kayak gini, adik harus kuat.
Doain ayah terus ya nak,” Akhirnya setelah aku tenang, mama menyuruhku untuk
pulang ke rumah. Diperjalanan pulang, aku masih saja menangis, memikirkan
keadaan ayah.
Setelah
beberapa hari di IGD, akhirnya ayah dipindahkan ke ruangan ICU. Aku terus
memikirkan bagaimana keadaan ayah. Bahkan pernah suatu hari aku menanyakan
keadaan ayah dan mama menjawab bahwa keadaan ayah sempat kritis. Disitu aku
mulai berpikiran yang buruk tetapi segera aku tepis pikiran tersebut dan selalu
berpikir positif bahwa ayah akan segera sembuh.
Karena keadaan
ayah yang semakin memburuk, kami terpaksa merayakan lebaran Idul Adha tanpa
ayah. Suasana yang aku rasakan sangatlah sepi. Karena biasanya ayah lah yang
sering mencairkan suasana dengan berbagai leluconnya. Biasanya sehabis kami
melaksanakan solat ied, kami akan makan bersama. Tapi karena keadaan ayah yang
begitu, setelah makan kami bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk ayah.
Sesampainya
di rumah sakit, aku disuruh mama untuk menjenguk ayah di ruang ICU. Ditemani om
dan budhe,aku menjenguk ayah. Pada saat di depan ICU, aku tidak dapat menahan
air mata ku kembali. Sambil menunggu diriku tenang, om dan budhe memberikan
wejangan agar aku menyemangati ayah dan selalu mendoakan ayah.
Hingga
suatu hari, aku dan budhe dari pihak mama harus membeli kacamata ku yang
hilang. Akhirnya aku dan budhe segera bergegas menuju optik. Sekembalinya kami
dari optik, mama memberikan pilihan kepadaku. Masih teringat jelas di ingatanku
dan sampai sekarang aku masih merasa menyesal. Mama meminta ku untuk menjenguk
ayah, tapi karena hari sudah petang dan waktu besuk juga sudah habis maka aku
berkata bahwa, “Nggak usah ma, biarin ayah istirahat.”
Saat
pukul 7 malam, aku dijemput kakak ku untuk pulang ke rumah. Pada sepanjang
malam itu, tidak pernah terlintas dibenakku bahwa aku akan kehilangan laki-laki
yang sangat aku sayangi dan cintai itu. Sesampainya di rumah, aku mandi dan
mengerjakan tugas. Setelah itu, aku lekas pergi tidur agar besok aku tidak
kesiangan.
Tepatnya
pukul 12 malam, aku dibangunkan oleh budhe ku. Aku melihat wajah budhe ku itu
seperti orang yang habis menangis. Aku yang baru bangun tidur itu bingung kala
kakak ku membereskan ruang keluarga. Aku berpikir bahwa akan ada keluarga ku
yang datang ke rumahku, tapi jika keluarga ku memang ingin ke rumah kenapa
semua sofa diangkut ke teras belakang rumah kami. Aku yang masih kebingungan
itu, disuruh oleh budhe untuk mengganti pakaian yang lebih sopan lagi.
Hingga
aku mendengar pembicaraan antara tetangga depan rumah ku dengan seorang satpam
komplek. “Pak, udah tahu belum kalo ayahnya lala meninggal?” setelah mendengar
kalimat tersebut, hatiku mencelos. Aku segera mencari budhe ku dan bertanya
perihal itu. Aku megharapkan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Tapi takdir
berkata lain, budhe mengangguk dan menenangkan aku yang sudah menangis
histeris. Ayahku meninggal pada hari senin, 11 September 2017.
Tepat pukul
2 dini hari, jenazah ayah dibawa ambulans ke rumah. Aku yang mendengar sirine
ambulans itu langsung memasuki kamar, karena aku tidak kuasa melihat jenazah
ayahku. Aku pun menyesal tidak bisa menyemangati mendiang untuk terakhir
kalinya. Mama yang melihat kepergian diriku menyusul ke kamar ku. “Udah adik
ikhlasin aja ayah. Doain ayah terus ya nak. Adik jangan sedih lagi, nanti ayah
juga ikutan sedih disana,” hibur mama.
Setelah
sholat zuhur, ayah dikebumikan di TPU dekat rumahku. Sebenarnya kami ingin
mengubur jenazah ayah di Jawa tetapi keluarga pihak ayah menolaknya dengan
alasan nanti kejauhan jika mereka ingin menjenguk ayah. Sebelum berangkat ke
TPU, mama sudah memberiku pilihan untuk ikut atau tinggal. Pertamanya aku
memilih untuk tinggal di rumah saja, tapi teman-temanku menyarankan agar aku
ikut karena itu adalah pertemuan terakhir dengan ayahku. Akhirnya aku memilih
untuk ikut dengan perjanjian dengan mama, bahwa aku tidak boleh menangis lagi. Aku
menyanggupinya.
Pada saat
di TPU, jenazah ayah tidak langsung dikuburkan. Kami harus menunggu adik ayahku
yang masih berada di bandara. Setelah menunggu kira-kira 10 menit, aku melihat
adik ayahku berlarian menuju tempat ayah akan dikuburkan. Pada saat penguburan,
kakak selaku anak sulung dan anak bujang satu-satunya dikeluargaku juga ikut
menguburkan. Aku melihat wajah kakak ku yang sangat mirip dengan mendiang ayah
itu tidak menampilkan raut sedih, tapi aku sangat yakin jauh di dalam lubuk
hatinya dia pasti sangat sedih atas kepergian ayah.
Malam harinya,
kami melakukan pengajian selama 3-7 hari. Pada saat pengajian untuk ayah yang
40 hari, teman ayah melihat sosok ayah yang menggunakan baju koko lengkap
dengan sarung dengan peci tampak pergi meninggalkan rumah kami. Dan teman ayah
juga berkata bahwa sorot mata ayah sangat lah kosong. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk ayah. Ayah, kami sayang dan rindu ayah.
Vimeo - vimeo (0) | Vimeo - Videosl
BalasHapusVimeo - Vimeo | Vimeo. Vimeo. Vimeo. Vimeo. vimeo. vimeo. Vimeo. vimeo. Videoslens. youtube to mp3 for android